Minggu, 09 Desember 2012

Konflik Antar Umat Beragama di Indonesia


Definisi agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.

Agama di Indonesia

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.

Kebebasan memilih dan mempraktikan kepercayaan ini membuat banyak sekali agama maupun aliran kepercayaan di Indonesia. Maka akibatnya konflik antar golongan pun sulit dielakkan. Beberapa penyebab koflik tersebut adalah seperti berikut:

  • Tiap agama memiliki sudut pandangnya masing-masing, kadang perbedaan sudut pandang ini dapat memicu suatu konflik.
  • Kurangnya komunikasi antar golongan yang menyebabkan salah faham seringkali menjadi pemicu konflik.
  • Provokasi juga menjadi faktor yang paling sering memicu keretakan hubungan antar golongan.
Untuk mencegah konflik antar umat beragama, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut:

  • Dialog terbuka antar agama dapat menjadi solusi agar konflik dapat dihindari. Karna pada dasarnya komunikasi adalah inti dari pencegahan terjadinya salah paham yang dapat menyebabkan konflik. Dengan dialog terbuka kita juga dapat mencari persamaan pandangan antar agama agar keharmonisan dapat tercipta.
  • Negara tidak memaksa penduduknya untuk memeluk satu agama tertentu. Jadi suatu golongan tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk kepercayaan dari golongan tersebut.
  • Semua umat beragama wajib mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebenarnya semua agama memiliki persamaan konsep, yaitu untuk menciptakan suatu masyarakat yang damai, adil, tenteram, rukun sesuai dengan aturan agama tersebut. Jadi kita sebagai umat beragama harusnya melihat persamaan tersebut, bukan malah mencari perbedaan yang dapat menyebabkan konflik.


Sumber referensi:
id.wikipedia.org

Kenakalan Remaja


Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. 

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Definisi kenakalan remaja menurut para ahli

Kartono, ilmuwan sosiologi “Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang”.

Santrock “Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.”

Sejak kapan masalah kenakalan remaja mulai disoroti?


Masalah kenakalan mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat.


Jenis-jenis kenakalan remaja:

  • Penyalahgunaan narkoba
  • Seks bebas
  • Tawuran antara pelajar
Penyebab terjadinya kenakalan remaja

Perilaku ‘nakal’ remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal).

Faktor internal:

  • Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
  • Kontrol diri yang lemah: Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

Faktor eksternal:

  • Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
  • Teman sebaya yang kurang baik
  • Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

Cara mengatasi kenakalan remaja
  1. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
  2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
  3. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
  4. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
  5. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.

Sabtu, 08 Desember 2012

Tawuran Antar Pelajar


Tawuran antar pelajar bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat kita, khususnya masyarakat Jakarta. Bahkan tawuran sudah menjadi tradisi turun temurun bagi pelajar kita. Dapat kita lihat tiap tahun pasti ada berita mengenai tawuran antar sekolah di televisi. Entah yang hanya memuat tentang korban yang luka ringan, hingga korban jiwa. Sungguh disayangkan, pelajar yang seharusnya menjadi bibit-bibit pembangun bangsa dan negara justru mengalami krisis moral dan perilaku menyimpang.
Penyebab tawuran antar pelajar ini bisa berupa hal sepele, mulai dari ejekan terhadap suatu kelompok hingga pembuktian kekuatan suatu kelompok. Lalu apakah penyebab tawuran antar pelajar ini menjadi kebiasaan bagi pelajar kita? Berikut penjelasan berdasarkan sudut pandang saya.
1. Faktor Psikologis
Pelajar yang terlibat tawuran biasanya berada pada fase remaja. Pada fase ini manusia mengalami gejolak emosi. Bagi para remaja, kemarahan biasanya merupakan respon emosional karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, atau kehilangan sesuatu yang mereka sayangi. Remaja juga sangat peka dengan ketidakadilan, baik yang nyata maupun sekedar perasaan. Beberapa bisa menjadi kemarahan hanya karena mereka mulai menghadapi kenyataan bahwa hidup tidak selalu dapat memberikan semua yang mereka inginkan. Kemarahan adalah gejala yang diungkapkan melalui perilaku, bukan masalah itu sendiri. Remaja mungkin tidak tahu mengapa mereka marah, namun mencari tahu apa yang hilang dalam hidup mereka merupakan kunci untuk berurusan dengan kemarahan itu.
2. Faktor Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor Lingkungan dan Pergaulan
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Sumber referensi :
www.google.com