Sabtu, 08 Desember 2012

Tawuran Antar Pelajar


Tawuran antar pelajar bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat kita, khususnya masyarakat Jakarta. Bahkan tawuran sudah menjadi tradisi turun temurun bagi pelajar kita. Dapat kita lihat tiap tahun pasti ada berita mengenai tawuran antar sekolah di televisi. Entah yang hanya memuat tentang korban yang luka ringan, hingga korban jiwa. Sungguh disayangkan, pelajar yang seharusnya menjadi bibit-bibit pembangun bangsa dan negara justru mengalami krisis moral dan perilaku menyimpang.
Penyebab tawuran antar pelajar ini bisa berupa hal sepele, mulai dari ejekan terhadap suatu kelompok hingga pembuktian kekuatan suatu kelompok. Lalu apakah penyebab tawuran antar pelajar ini menjadi kebiasaan bagi pelajar kita? Berikut penjelasan berdasarkan sudut pandang saya.
1. Faktor Psikologis
Pelajar yang terlibat tawuran biasanya berada pada fase remaja. Pada fase ini manusia mengalami gejolak emosi. Bagi para remaja, kemarahan biasanya merupakan respon emosional karena tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, atau kehilangan sesuatu yang mereka sayangi. Remaja juga sangat peka dengan ketidakadilan, baik yang nyata maupun sekedar perasaan. Beberapa bisa menjadi kemarahan hanya karena mereka mulai menghadapi kenyataan bahwa hidup tidak selalu dapat memberikan semua yang mereka inginkan. Kemarahan adalah gejala yang diungkapkan melalui perilaku, bukan masalah itu sendiri. Remaja mungkin tidak tahu mengapa mereka marah, namun mencari tahu apa yang hilang dalam hidup mereka merupakan kunci untuk berurusan dengan kemarahan itu.
2. Faktor Keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor Lingkungan dan Pergaulan
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Sumber referensi :
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar